Kisah sukrosono dan sumantri

          Kisah Sukrosono dan Sumantri dalam Anak Bajang Mengayun Bulan adalah sebuah kisah sederhana dalam dunia pewayangan. Kesederhanaan inilah yang justru memantik rasa penasaran Sindhunata. Cerita itu tak mungkin sesederhana itu, pikirnya. Ia lalu menggali lagi dan menemukan kisah kakak tampan yang mengkhianati adik buruk rupa tersebut penuh dengan gugatan terhadap kekuasaan, ambisi, termasuk nafsu dan cinta, juga tentang pertentangan nasib dan kebebasan, kesia-siaan dan cita-cita, hingga bagaimana sesuatu yang buruk dibutuhkan oleh yang baik supaya yang baik itu bisa sempurna. "Saya sudah memikirkan untuk menulis Anak Bajang Mengayun Bulan sejak 13-14 tahun lalu, tetapi baru pada masa pandemi kemarin saya bisa selesaikan. Yang memacu saya adalah karena sebentar lagi saya berusia 70 tahun dan Anak Bajang Menggiring Angin 40 tahun. Saya ingin saat cetak ulang peringatan 40 tahun Anak Bajang yang pertama, buku itu ada jodohnya,"

         Tantangan penulisan Anak Bajang Mengayun Bulan muncul saat Sindhunata dituntut untuk menceritakan kembali cerita yang aslinya berbahasa Jawa kuno ke bahasa Indonesia dikaitkan dengan situasi sekarang. Kondisi ini justru membuatnya dapat mengeksplorasi keindahan sastrawi yang sekarang sudah banyak hilang. " Kemampuan bahasa Indonesia untuk betul-betul masuk ke dalam keindahan sering kita dangkalkan menjadi kepraktisan. Alam Jawa kuno dengan seluruh rasanya membantu saya untuk menggali begitu banyak dinamika dan irama keindahan yang secara bahasa sastra bisa dihadirkan," Shindunata

          Dramatis reading yang dilakukan Eka Budianta ini menunjukkan potensi alih wahana yang besar pada novel Anak Bajang Mengayun Bulan. Bahkan, sebelum terbit pun alih wahana sudah terwujud dalam bentuk lukisan karya Budi Susilo yang kini menghiasi novel ini," tutur Mirna Yulistianti, Editor bidang sastra Gramedia Pustaka Utama.